Pasti Kubisa
Hidup
itu sulit, begitu kata kebanyakan orang. Hidup mereka analogikan hanya sebagai
sebuah kutukan yang harus dijalani, dan memang harus dijalani entah itu karena
terpaksa atau tidak. Akhirnya sejarah tentang kehidupannya bahkan tak pernah
semenarik sepucuk pohon yang mampu memberikan begitu besar manfaat bagi bumi,
ya, apa yang sudah aku lakukan untuk bumi, mungkin agar lebih logis, kecilkan
saja dulu skalanya menjadi, “APA YANG SUDAH AKU LAKUKAN UNTUK NEGARA KU”,
terlalu munafik mungkin jika aku tidak peduli dengan Negara ku yang sekarang
ini INDONESIA TERCINTA, namun apa yang bisa diperbuat orang seperti ku?, ahh
aku terlalu banyak menghayal mungkin, atau ini memang perintah dari hati
kecilku yang suci, dengan kesabaran yang luar biasa ingin mengajakku untuk
memperdulikan nasib saudara-saudara ku di Negara kecil ini, hanya saja aku
tidak tau harus mulai darimana
Aku
jadi teringat pesan Khotbah Jum’at kemarin, Katanya “Jika kamu ingin berbuat
baik, mulai lah dari hal yang paling kecil, dan perbaikilah akhlak mu sebelum
kau mampu memperbaiki akhlak saudara-saudara mu”, itu salah satu kalimat
motivasi ku dari juta-an kalimat motivasi lain, terkadang aku heran, aku mampu
menghapal begitu banyak kalimat motivasi yang sangat membuatku merasa mampu
menjadi lebih baik, namun sayangnya kalimat itu hanya berefek pada saat dibaca
saja, 5 menit kemudian kalimat itu hanya menjadi koleksi barang pecah belah yang
tersusun rapi didalam kardus penuh abu dibagian paling sudut otakku
“Dana.......belum
berangkat juga? kuliah sana”
Suara
merdu ibuku terdengar memekakkan dan sejenak aku kembali dari dunia khayalku
kealam nyata, “Iya mak....”, Omak, sapaan orang Batak ke pada Ibunya, terlahir
berdarah Lubis di kota Medan yang penuh dengan ketidak pedulian ini – nanti aku
jelaskan maksud kalimat ketidak pedulian itu – menjadikanku orang bermarga yang
tidak tau bahasa daerahnya sendiri walaupun hanya satu kata, dan memang seluruh
anggota keluarga ku dirumah hampir tidak pernah menggunakan bahasa daerah,
kecuali ada saudara dari kampung yang berkunjung kerumah, selain itu yang
digunakan hanyalah bahasa Indonesia, aku merasa bahasa orang Medan itu keren,
Bahasa Indonesia, dengan sedikit irama melayu dan dipertegas dengan logat Batak
yang keras, ya mungkin karena aku orang Medan, tidak salah lah aku mengagumi
bahasa kota ku, mungkin jika aku lahir di Papua maka bahasa Papua lah yang
bakal aku bilang paling keren.
“Iyah..... tak begerak juga kau?,
bentarlah ya kuambil dulu ember biar tak usah kau lagi kekamar mandi”
“eh..
iya-iya mak, sabar lah berat kali rasanya badan ni”
“itulah
kau... begadang aja tau mu cepat sana....!”
Dengan
sigap aku bangkit dari singgana kapuk ku, cemas kalau saja Omak ku bakal nyiram
aku dengan satu ember penuh air bekas cucian, aku cukup yakin Omak bakal melangsungkan
ritual pagi membangunkan ku dengan satu ember air itu, karena tidak jarang Omak
memang punya niat dan kebulatan tekad untuk melakukannya, pernah suatu ketika
aku benar-benar basah di guyur air bekas cucian, alhasil sepulang kuliah aku
harus menjemur tilam ku – yang indah dengan motif gambar abstrak berupa pulau
hitam yang catnya berasal dari liur ku – dan parahnya ketika itu cuaca mendung
sebelum adzan maghrib aku pun harus mengangkat tilam ku yang masih lembab, dan
malamnya aku tidur dilantai.
Dengan langkah berat aku menuju
kekamar mandi, dingin sekali rasanya pagi ini, aku lirik jam dinding, ternyata
masih pukul 10 pagi, huft terlalu pagi aku bangun, keluhku, sebagai mahasiswa
pengangguran seperti ku ini, 10 pagi masih terlalu pagi, bahkan ayam jantan
masih malas untuk berkokok – dan memang biasanya ayam jantan berkokok itu tepat
pukul 5 pagi – akhirnya ide briliant itu datang, karena masih terlalu dingin
aku hanya cuci muka saja pakai sabun pencuci mukaku, dan menggosok gigi itu
sudah cukup, orang Barat aja ga pernah tu mandi pagi, karena aku juga merasa
orang Barat – Batak Rantau – jadi untuk hari ini tak apalah kalau aku tak
mandi, cukup oles deodorant, trus pake parfum sebanyak mungkin, orang akan
terkecoh dengan aroma tubuh ku, dan hanya Tuhan yang tau bahwa aku tidak mandi.
Perjalanan ku kekampus dimulai,
dengan menggunakan kereta ku – dibeberapa kota kereta disebut motor atau sepeda
motor, namun kereta digunakan sebagai nama bagi sepeda motor di Medan dan motor
adalah nama untuk Mobil, begitu kaya bahasa Negri ku – yang selalu setia
menemani kapan saja
“woi
ketua kok tumben rajin masuk, udah tobat ya?”, belum lagi aku sempat turun dari
kereta ku ini bang Sumar satpam kampus sudah menyambut ku didepan pintu gerbang, dengan senyum
mengejek khasnya diarahkan padaku,
“eleh,
yang sibuk la abang ni, bukannya di dukung aku yang udah mulai rajin ngampus”,
aku mulai mencari tempat kosong untuk parkir dengan menghiraukan bang Sumar,
barisan paling ujung dibawah pohon mangga, aku tepat memarkirkan keretaku
disamping bangku panjang yang diduduki oleh bang Heri juga salah satu satpam
kampus, bang Heri seolah tak melihat ku, dia masih sibuk dengan korannya dan
rokok di tangan kirinya, aku juga tak menegurnya, takut kalau mengganggu, “hei
anak muda, nyantai kita dulu sini, ngapain la kau masuk kelas”, aku melihat ke
sumber suara dan aku bisa memastikan itu suara bang Heri yang masih membaca
korannya tanpa menoleh kepada ku, dia lebih berbahaya dari bang Sumar, memang
dia tidak menghinaku seperti bang Sumar, namun dibalik keramahannya tersirat
niat yang membahayakan iman ku untuk memikirkan kampus, tidak, aku tidak boleh
termakan rayuannya, aku harus.....
“hei
sini mau kubuatkan kopi kau, kalo mau rokok ini” bang Heri tetap saja menggoda
ku malah dia menawarkan kopi, wah ini tidak bisa dibiarkan, aku harus menerima
tawarannya, lagipula aku sudah terlambat 30 menit, aku sangat hafal dengan
dosen ku yang masuk hari ini, dia sangat anti dengan mahasiswa yang masuk
kekelasnya jika terlambat 15 menit, “ok lah bang kalo gitu, nyantai aja kita
sini, buatkanlah kopi aku”, aku pun duduk disebelah bang Heri, tak lama aku
duduk dia langsung bangkit, aku yakin dia pasti akan pergi memenuhi janjinya
seperti seorang koboi yang menjanjikan kepada kekasihnya bahwa dia akan kembali
setelah berjuang di medan tempur, sambil menunggu dia kembali, aku tergoda
dengan berita hari ini di koran, PEMERINTAH BERFOYA RAKYAT MENDERITA,
“ih
mantap kali ku liat bang judul berita ni, mobil dinas baru bagi dewan terhormat
akan segera di fungsikan minggu ini, ada yang pro namun tidak sedikit juga yang
kontra akan masalah ini. ih kenapa pula di tulis masalah bang, pemerintah beli
mobil masalah rupanya itu, heran aku, setau aku masalah tu gempa bumi, banjir
bandang, sama tugas kuliah, itu baru namanya masalah bang tapi kalo ini, cemana
pula itu bang?”
“hah
itulah paoknya kau” bang Heri kembali dengan segelas kopi panas, lalu dia duduk
disebelahku dan merampas koran dari tangan ku,”kau dengar ya,” bang Heri dengan
gayanya bagaikan seorang pembaca puisi profesional dengan mengangkat koran
tinggi-tinggi mengunakan kedua tangannya “ pemerintah seharusnya lebih
memikirkan persoalan yang ada ditengah-tengah masyarakat, seperti biaya sekolah
yang mahal, angka kemiskinana yang semakin meninggi, meningkatnya angka
pengangguran tahun ini dan kriminalitas yang merajalela, mengapa uang untuk
mobil dinas itu tidak digunakan saja untuk kepentingan tersebut, rakyat kecil
harus kembali mengalami penderitaan yang sepertinya tidak akan pernah berakhir”
setelah selesai membaca puisi koran pagi itu bang Heri menoleh kearahku,
“rakyat kecil Dana, rakyat kecil lagi yang menjadi korban, aku, ya macam aku ni
lah yang menderita”
“kenapa
pula abang menderita, gemuknya ku tengok abang, makin buncit pun, tulah
kebanyaan minum tuak abang ni,”
“bah
memang lah kau ni, tak bisa merasakan penderitaan rakyat kecil kayak aku, sama
kau macam pemerintah”
“eleh,
ntah apa aja abang ni, tak semua orang-orang di pemerintahan itu buruk macam
yang abang kira, masih ada juga yang peduli sama rakyat bang, coba lah abang
bayangkan, kalo lah Medan ini macam di Afghanistan tu, mana lah bisa nyantai
kita minum kopi di bawah pohon yang rindang dengan udara sejuk macam gini, yang
ada was-was terus kita, masih hidup ga ya aku besok, gitu la kurasa orang di
Afghanistan tu” aku menyelesaikan kalimat ku dengan sedikit meneguk kopi panas,
seketika aku terkejut, aku baru saja meneguk kopi yang masih panas.
“iyah-iyah,
kau pun yang enggak-enggak aja, kau bandingkan pula Indonesia yang sudah
merdeka dengan Afghanistan”
“eh
bang, macam yang pernah kudengar gini katanya bang, “kemerdekaan bukanlah
tujuan akhir, namun kemerdekaan adalah awal membangun suatu Negara, perjuangan
kita belum berakhir sampai disini, mempertahankan kemerdekaan lebih berat
daripada mendapatkannya”, hah itulah dia seingat ku kata-kata itu, perjuangan
kita belum berakhir bang, kita tetap harus berjuang sampai maut menjemput”
“eleh,
berjuanglah kau bilang, udah berjuang kalipun aku ini untuk istri-anak ku
supaya bisa makan orang itu, kau baru tau macam mana yang dibilang berjuang tu
kalo kau udah punya tanggungan macam aku ni, biaya makan, biaya sekolah
anak-anak, ditambah biaya sakit, biaya melahirkan, dan biaya untuk ke toilet, bisa
kau bayangkan ga, pengeluaran kau tiap hari lebih besar dari pendapatan kau,
mau ngorek dari mana lagi coba, kalo aja ayah-omak ku dulu mampu nguliahkan
aku, ga kan disini aku becakap-cakap ama kau, mungkin udah punya perusahaan
sendiri aku ni, aku ni dulu pas SMP salah satu murid terpintar juga biar kau tau,
tapi itulah Dan, tak bagus rejeki aku”
“iya
juga ya bang, berarti memang aku ja yang pemalas ni, makan, minum, tidur,
kuliah semua masih dibiayai orang tua, tapi belum bisa aku berbuat sesuatu yang
membanggakan orang tua ku, yang ada malas-malasan aja kerja ku,”
“kau
tu harusnya bersyukur, tau kau dulu kisah hidupku cemana, belum lagi sekolah,
ayahku udah lari sama bini mudanya, omakku lah yang banting-tulang membiayai
aku kami bertiga, aku anak kedua, abang ku waktu itu kerjaannya merantau jarang
pulang kerumah, adikku yang perempuan la yang bantu omakku jualan pisang goreng
di pasar diterminal, kalo aku kerja tukang sapu motor angkot diterminal tu,
setamatnya SMP aku tak lagi bisa sekolah karna tak ada biaya. Dana mulai
sekarang berpikirlah untuk masa depan kau, kalo bukan kau siapa lagi?, bukannya
aku mendoakan hal yang buruk, tapi gak selamanya kau itu terus hidup dan
bergantung sama ayah-omak kau,ada waktunya nanti kau harus bisa terbang
sendiri, tidak lagi di papah, aku yakin kau pun pasti nantinya bakal merasa
puas waktu kau sudah bisa membiayai hidup kau sendiri, ada kepuasan batin
disitu, dan rasanya enak kali, gak percaya?, cak tes, kalo kau sukses kan kau
juga yang senang”
Tumben bang Heri berbicara seserius ini, sosok yang
aku kenal sebagai seorang yang humoris dan sedikit konyol ternyata memiliki
pesan yang begitu mendalam bagiku, aku terpaku dan menunduk, seolah dia baru
saja menyadarkan aku dari dunia ku sendiri, dunia yang selalu aku bayangkan
begitu mudah dan sepele tanpa harus memikirkan apapun selain besok adalah waktu
bersenang-senang dan bermain bagiku tanpa harus memikirkan soal perut dan biaya
hidup.
“tapi kurasa Ri” bang Sumar sepertinya ingin ikut
bergabung dalam perbincangan “ga boleh dia ni sukses”
“ih kenapa pula bang, iri abang ya kalo aku udah sukses?”
“Tuhankan Maha Tau Dana, kurasa nanti kalo kau sukses
kau jadi sombong, nah daripada kau jadi sombong dan Tuhan jadi murka sama kau
bagus lah kau tak usah sukses sekalian”
Tertawa mereka meledak seketika, dasar mereka
beraninya main keroyok
Bersambung...